Sunday, January 7, 2007

Melamar Jadi Dosen ATK

Seperti biasa, pagi itu aku bangun pagi sekitar jam 4.30 dan mulai mandi. O ya, hari ini adalah bulan Agustus 1982. Aku sudah bekerja sebagai peneliti bidang pangan di BPPT - sebuah lembaga think thank milik pemerintah - selama dua tahun persis (aku mulai kerja 8 Agustus 1980). Sebentar lagi, tepatnya dua bulan lagi, aku bakalan menikah dengan orang yang sudah aku pacari selama 1,5 tahun ini. Namanya Susi, ia adalah seorang anggota militer dengan pangkat Sertu.

Entah apa yang membuat aku mempunyai ide untuk bekerja sambilan sebagai dosen, di samping pekerjaan utamaku sebagai peneliti di BPPT. Ini yang mungkin disebut sebagai "indera keenam" atau "bisikan ajaib". Mengapa ? Karena pekerjaanku di BPPT saat itu sudah bisa dibilang sangat mantap. Kantor paling modern se Jakarta, terletak di jalan yang paling terkenal di Indonesia - Jalan Thamrin, dengan gaji standar perusahaan minyak milik pemerintah. Ya, sewaktu aku melamar kerja di BPPT di pertengahan 1982, BPPT baru saja berganti nama. Nama lama adalah Divisi Advanced Technology Pertamina (Divisi lainnya yaitu Divisi Teknologi Penerbangan juga baru saja berubah nama menjadi PT. Nurtanio). Gaji awalku adalah Rp. 142.000, ditambah TSP (Tunjangan Selisih Penghasilan) sebesar Rp 75.000, dan masih ditambah uang lembur berkisar antara Rp 20.000-Rp 45.000. Yah total sekitar Rp 240.000, yang kalau dikurs dengan mata uang US Dollar saat itu 1 USD = Rp 425, maka gaji perbulanku adalah USD 600. Not bad at all, mengingat saya pegawai baru. Gaji kakakku yang bekerja di BRI waktu itu hanya separuh gajiku, yaitu Rp 118.000,-. Dengan gaji sebesar itu, saya bisa hidup layak kost di Jalan Belitung, Bogor. Malah bisa menabung beberapa di Bank Tabungan Negara yang tentunya saat itu masih numpang di Kantor Pos Besar Samping Kebun Raya Bogor.

Dengan berubahnya Divisi AT Pertamina menjadi BPPT di tahun 1978, proses mutasi dari pegawai Pertamina Gol. 6 menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) segera dimulai. Beberapa pegawai senior ditawari, apakah mau menjadi pegawai BPPT, PT. Nurtanio, atau tetap di Pertamina. Anehnya, hanya segelintir orang yang pikirannya "cukup waras" dan memilih Pertamina. Sebagian besar, memilih sebagai PNS yang gajinya standar sekali.

Tapi aku lain, aku mencurigai ada sesuatu yang bakal terjadi. Misalnya, gaji akan dipatok sesuai dengan pegawai negeri lain. Waktu gajiku di BPPT Rp 240.000 per bulan, pegawai PNS Gol III/a gajinya hanya Rp 75.000, malah tiga bulan pertama sebagai CPNS gajinya hanya Rp 50.000.

Aku memberontak. I have to do something, kataku. It's better to have a side job just in case something happens. Although I have to work in the evening (yeah, that's why people called to have a side job as "moonlighting" because we work while to moon shine...in the evening).

Pagi itu, seperti biasa aku numpang bis antar kota LIMAS, bis paling keren yang menjalani rute Bogor-Cililitan via Jagorawi. Ongkos sekali jalan kalau tidak salah Rp 400. Kalau ongkos naik bemo di Bogor tahun 1982 adalah Rp 50 sekali jalan. Bis LIMAS yang masih baru itu baunya wangi, jumlah penumpangnya pas tempat duduk, dan kita masih dihibur dengan alunan musik yang beraliran slow rock. Sayup-sayup terdengar lagu "Cat Size" dari penyanyi rocker wanita yang bertubuh mungil tapi kekar, Suzi Quattro !

Jalan tol sepanjang 44 km dilibas LIMAS dalam waktu setengah jam saja. Aku segera turun di depan Kodam Jaya (situasinya masih persis seperti saat ini, hanya jalan di depan Kodam waktu itu masih agak sempit). Aku menyeberang jalan untuk menunggu bis jemputan Mercedez Benz OH-11 warna krem dengan cat biru muda bertuliskan BPP Teknologi. Beberapa teman BPPT sudah menunggu di depan Kodam, ada Prasetio yang alumni Mesin ITB, ada alm. Pak Todo Tambunan yang alumni Jerman, ada Petrus Paranoan yang alumni Elektro ITS, ada Basri yang alumni Elektro ITB, dan yang paling mencolok ada orang yang namanya Tito yang kulitnya putih, pakai baju biru dari bahan combed cotton, dan celana kaki berbahan katun. Sebelum naik bus, saya beli koran KOMPAS dari anak asongan yang lewat. Koran Tri, Koran Tri, seru Petrus dan O ya, ada Anton Gunarto teman sekelas kakak saya Endang dari Agronomi IPB. Kompas halaman pertama saya baca, halaman kedua dibaca Petrus, dan halaman ketiga dibaca Anton. Sejak itu, bis yang AC-nya cukup dingin itu berjalan pelan menyusuri Jl. Otista, belok kiri di Jalan Diponegoro sebelah FKUI, masuk Jalan Imam Bonjol, dan belok kanan di bunderan HI, dan akhirnya sampailah kita di kantor, tepat pukul 07.10. Masih ada 20 menit sebelum kantor dimulai jam 07.30. Sepanjang perjalanan tadi, semuanya tidur atau baca koran, tapi yang namanya Tito itu ngomong terus, ada atau tidak ada yang ngajak ngomong (I will tell you later, belakangan Tito yang dipanggil "Tanpa Input Tanpa Output" juga menjadi dosen Binus. Bahkan anaknya yang bernama Adit menjadi mahasiswa bimbingan skripsiku. Anaknya secara fisik dan sifat persis dengan bapaknya, dan secara sadar ia menyebut dirinya "Kenthir". Klop !).

Setelah mengisi absen model ceklok merk AMANO, aku segera naik ke Lantai 5. Waktu itu aku didapuk sebagai ahli statistik untuk Studi Pengkajian Sistem Pedesaan Indonesia. Tugasnya mengajari staf lain dalam merancang pengambilan sampel dan menganalisis data berdasarkan teknik statistik, baik deskriptif maupun inferens. Satu ruang berukuran 6 x 8 meter waktu itu diisi dengan 13 orang staf. Kepala Studinya adalah Prayitno Ramona, alumnus FISIP UI. Anggota studinya beberapa dari IPB : Iding Chaidir (perikanan), Yanto Tatang (peternakan), Anton Gunarto (Agronomi), Soleh Iskandar (HPT), Suryo Handoto (Mekanisasi), Hariadi Wardi (Tanah) dan saya sendiri (Statistik). Yang dari UI ada Prayitno Ramona (FISIP), Dwi Yani (FISIP, anaknya Jendral A. Yani), dan ada beberapa orang UI lagi yang mulai akan keluar. Lalu dari UGM ada Mbak Tenong (Arsitek, putranya Prof. Gembong), Maryadi (Agronomi). Lalu ada Jane - cewek bule manis yang bekerja sebagai Senior Scientist. Satu lagi Senior Scientist adalah Dr. Manase Mallo (belakangan menjadi Dekan FISIP UI).

Di waktu jam istirahat, aku membaca kembali koran KOMPAS yang aku beli tadi. Tiba-tiba mataku tertuju pada iklan "LOWONGAN DOSEN, DIBUTUHKAN TENAGA DOSEN PARUH WAKTU UNTUK MATA KULIAH MATEMATIKA, STATISTIKA". Yang memasang iklan adalah AKADEMI TEHNIK KOMPUTER (ATK), Jl. Cideng Timur, Jakarta Pusat. Segera saya draft surat lamaran secara sembunyi-sembunyi untuk saya poskan nanti sore sesampainya di rumah di Bogor. O ya, waktu itu aku memutuskan tetap tinggal di Bogor semenjak aku lulus dan kerja di Jakarta. Bogor serasa dingin, dengan pohon-pohonnya yang besar dan rindang, dan hampir setiap hari hujan. Sedangkan Jakarta serasa berdebu. Aku akan tinggal di Jakarta setelah menikah, pikirku.

Sorenya, surat lamaran dosen untuk ATK aku kirimkan via Kantor Pos Besar Bogor yang letaknya persis di tepi Kebun Raya itu. Jarak kantor pos dengan pohon besar yang setiap siang digelayuti oleh ratusan kalong itu kira-kira hanya 50 meter. Setelah malam, tentu kalong kalong itu pada cari makan buah-buahan entah dimana.

Singkat kata, seminggu kemudian di rumah kostku di Jalan Belitung ada surat tiba. Dari ATK. Wah, mudah-mudahan aku diterima, doaku. Isinya undangan untuk wawancara, ditandatangani oleh Direktur ATK, Ir. Th. Widia S. Sebelumnya aku ingat, bahwa secara nama aku sudah kenal dengan Th. Widia ini karena aku pernah beli dua buah buku "Pemrograman COBOL" Jilid I dan Jilid II yang berwarna biru dan orange, langsung di tempat kursus MCC Jl. Makaliwe.

Siang itu, tanpa kesulitan saya bisa menemukan rumah yang dituju di Jl. Cideng Timur. Rumah ini rumah biasa bertipe 100 dengan arsitektur akhir tahun 1950an. Tidak terlalu bagus, tapi lumayan. Jaraknya dari jalan raya sekitar 20 meter masuk ke dalam. Saya mengetok pintu, dan ditemui oleh seseorang dari etnis Tionghoa. Badannya kekar, tingginya sekitar 170 cm, dan kelihatannya ia atlet, berumur sekitar 25 tahunan, orangnya cukup ganteng - mungkin seperti JuMong di film Korea yang dilihat isteri saya barusan.

"O, ini Pak Tri Djoko ya", sapanya. "Ya Pak", jawab aku. "Bapak Pak Ir. Th. Widia ya ?", tanyaku spontan. "O bukan, itu Ibu, bukan Bapak", katanya. "Nama saya Carmelus", tambahnya (terus terang aku agak tersipu-sipu salah nebak, kirain Th. Widia tuh cowok !

Singkat kata, aku diwawancara pernah mengajar Statistika atau tidak. Pernah, aku jawab saja begitu, karena minimal aku pernah jadi asisten dosen, walaupun mata kuliah Ekonomi Mikro dan Biologi. Tapi, sedikit berbohong asal tujuannya baik kan berpahala, pikirku. Sewaktu Pak Carmelus nanya apakah aku mau mengajar Matematik atau Statistik, aku milih Statistik saja karena itu memang bidang ilmu saya.

Dua minggu setelah itu, jadilah aku dosen Statistika di ATK, yang kuliah pertamanya dimulai awal September 1982. Aku jadi dosen angkatan kedua, dan menjadi dosen ke-10 di ATK. Lainnya adalah dosen Matematika seperti Pak Wikaria Gazali (kemudian menjadi Dekan MIPA), Pak Gerald Polla (kemudian jadi Rektor UBinus), Pak Sudadi Atmojo, dosen Bahasa Inggris seperti Ibu Devi Pitono (isteri dr. Pitono, dokter resmi UBinus), dan Ibu Inneke (kemudian menjadi Dekan Sastra), serta alm Pak Winokan yang ngajar Etika (beliau "Godfatther" atau Bapak baptisnya Ibu Th. Widia). Ruang dosennya berukuran 6 x 10 meter, yang didalamnya diisi oleh Ibu Th. Widia selaku Direktur ATK dan Pak Carmelus selaku Wadir Bidang Akademis, lalu ada Pak Efendi yang menangani tata usaha/gaji, dan beberapa dosen. Kita semua menempati ruang yang sama.

Rupanya ada hal yang menggembirakan dan yang kurang menggembirakan dari mengajar di ATK ini. Yang menggembirakan, the pay is OK. Aku mengajar 2 sks dan setiap sks diberi honor Rp 9.000 (USD 21) dan setiap 2 sks diberi uang transpor Rp 3.000 (USD 7.5). Jadi, total honorku sebulan adalah 4 x Rp 21.000 = Rp 84.000 (USD 200). Not bad, karena ini sudah sekitar 1/3 gajiku di BPPT yang sebesar USD 600.

Yang kurang menggembirakan, rupanya ATK ini masih menyewa gedung bertingkat tapi di sayap belakang. Jumlah ruang kelasnya ada 2, masing-masing berukuran 10x12 m2 yang disesaki dengan 120 mahasiswa yang semuanya bermimpi jadi programmer komputer yang handal. Ruang kelas dan ruang administrasinya sih ok di lantai 3, tapi kamar mandinya di lantai 2 sangat bau dan kita sebaiknya tidak usah kebelet supaya sepatu kita tidak tertempeli dengan bau-bauan yang baunya berbanding terbalik dengan parfum itu.

O ya, satu lagi. Jika aku sedang ngajar Statistik, ada satu staf administrasi Binus yang namanya Supardi, yang selalu mendengarkan aku memberikan kuliah. Aku datang ke Binus sekitar jam 17.15 kadang naik bis jemputan BPPT yang jurusan Grogol/Kebun Jeruk. Atau kadang-kadang menaiki sepeda motor Honda Bebek 70 cc-ku yang berwarna merah. Waktu itu Mal Taman Anggrek masih belum ada, yang ada Kebun Anggrek. Slipi masih berupa bunderan, dan Pancoran juga masih berupa bunderan (round-about). Dan sejak menikah di bulan Oktober 1982 aku dan isteri tinggal di rumah kontrakan di Jl. Almunawar, persis di belakang Kompleks Triloka Mabes TNI-AU Pancoran.

(Bersambung)

9 comments:

edratna said...

Hidup memang tak pernah bisa di tebak, tapi kita harus selalu siap menghadapi segala macam risiko. Ingat nggak, saat saya mulai bekerja,menyarankan agar jangan sampai kita, tiga bersaudara bekerja di instansi yang sama, agar bisa saling tolong menolong jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Saya bersyukur bahwa bank saya tidak termasuk bank yang kena likuidasi, sehingga bisa eksis sampai sekarang.

Apapun hasilnya, pantas disyukuri bahwa kita bertiga sampai saat ini masih dapat mencari nafkah secara layak, dan dapat menyekolahkan anak2 sampai di Perguruan Tinggi.

Muzammil Subarman said...

wah saya mau ngasih comennt...
sungguh perjalanan hidup yang sangat berliku...saya terkesan membaca ceritanya....
kapan sambungannya pak...?
saya tunggu ya..!!!
makasih
wass.

wanda said...

wah assik pak baca tuisaannya saya terhanyut dalam ceritanya...kabarnya BPPT gajinya tahun 200 gede ya pak

wanda said...

maksud saya gaji BPPT tahun 2009 geedeee

Ivana said...

Thx for visiting my blog!!
wah postingan anda bagus.
kebetulan, saya juga sedang coba-coba melamar menjadi asisten dosen

DIMENSI said...

Seharian kemarin 14 Agustus 2008, aku gak bisa submit (mugo-mugo bener istilahe) nang wordpress, padahal ketemu konco lawas, kepingine tukar padu (eh, tukar crito). Tak jajal di sini, siapa tahu masuk.

Aku saiki ketularan bikin blok. Coba lihat di blogger ''AKU'' kasih komen heheheh, opo sing kurang. Yang jelas masukin foto lama banget, yok opo carane cak. Anakku sing isok, tapi gak sak omah apalagi yo isin titiklah

DIMENSI said...

Eh bener bisa. Cuma, opo yo sampean deloki sitok-sitok, wong alamat sampean akeh banget. YYang aneh, blogku memang semula tak kasih nama Dimensi, tapi terus tak ganti AKU, lha kok sing metu anng kene Dimensi, jadi bingung..... Kasih saran, yok opo ben didelok wong sak donyo hahahaha

ni3nie said...

Pak Tri,
cerita CISA dan CISM bisa anda gunakan untuk “ngasong” (moonlighting) itu di mana? aku ndak nemu cerita na

Ruang Ekspose-ku said...
This comment has been removed by the author.